Dalamkumpulan Sabda Khusus tertera kalimat indah yang harus dilaksanakan manusia yang memiliki budi pekerti yang baik, yaitu: "Apabila engkau menerima pemberian kebaikan atau diperlakukan baik oleh siapa saja, catatlah dalam hatimu, yaitu ingatlah selama-lamanya dan hendaklah mempunyai niat (kemauan) membalas kebaikan kepada yang memberi.". ketidaktaatansipil adalah salah satu bentuk ketidaktaatan terhadap hukum negara dalam hal membayar pajak.7Hal ini mengacu pada apa yang dilakukan Henry D. Thoreau di dalam penolakannya untuk membayar pajak, tetapi sebenarnya ruang lingkupnya lebih luas dari penolakan untuk membayar pajak. LemahnyaHukum Di Indonesia. 19 November 2021 editor. Modernis.co, Malang - Hukum, setiap negara mempunyai hukum yang berlaku, namun hukum disetiap negara sudah pasti berbeda, walaupun mungkin ada beberapa kesamaan. Hukum sendiri memiliki arti dan makna sebagai peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur SebabKita Harus Taat Hukum. Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik. Hukum adalah suatu kaidah, norma ataupun aturan yang dibuat oleh penguasa yang bersifat tertulis ataupun tidak tertulis yang disertai sanksi guna melindungi serta memberikan rasa keadilan demi terciptanya tata tertib serta kedamaian dalam kehidupan masyarakat dalam suatu Tentukita yakin bahwa seluruh aturan hukum Islam yang berasal dari Sang Maha Pencipta ini pasti merupakan solusi bagi problematika umat manusia dan pasti mendatangkan maslahat. Semestinya, itu pula yang harus dilakukan oleh umatnya. Ketaatan total terhadap syariah Islam, sekaligus mewujudkan penerapannya secara kaffah dalam Khilafah Tag ketaatan kita terhadap hukum semestinya Hukum Perdata Oleh bitar Diposting pada Juni 3, 2020 SeputarIlmu.Com - di indonesia mempunyai hukum untuk mengatur prilaku warga negara di indonesia, antara lain hukum pidana, hukum perdata, hukum negara, dan hukum agama. disini akan menjelaskan tentang hukum perdata. [] Pos-pos Terbaru Ketaatanatau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Tingkat kepatuhan hukum yang diperlihatkan oleh seorang warga negara, secara langsung menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang dimilikinya. 7ejxo. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Agama tidak hanya belajar tentang kitab suci. Agama juga tidak hanya sebatas mengenal surga dan negara. Namun dalam agama juga diajarkan tentang bagaimana membentuk kesalahen individual dan sosial. Bagaimana kita harus bisa menghargai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Bagaimana kita harus bisa saling berinteraksi dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa mempersoalkan apa latar juga mengajarkan nilai-nilai toleransi, yang harus merangkul semua orang, berdampingana dengan perbedaan. Untuk itulah, jika ada seseorang yang mengklaim dirinya seorang yang religius, seorang yang paham agama, tentu saja segala bentuk ucapan dan perilakunya akan lebih terjaga. Tidak pernah menjelekkan, tidak pernah menebar kebencian, tidak pernah melakukan provokasi atau tindakan intoleran yang dipungkiri, kemajuan teknologi ini telah melahirkan tokoh-tokoh baru yang mengklaim dirinya memahami agama. Banyak tokoh agama yang tenar karena media sosial. Namun tidak sedikit pula tokoh agama kampung, yang memilih untuk tidak terkenal, dan mamanfaatkan waktunya untuk kepentingan yang lebih positif. Para tokoh ini tak jarang juga mengeluarkan statemen yang bisa memancing amarah public, dan tidak bisa memberikan arahan kepada para simpatisannya. Padahal, dalam agama diajarkan untuk saling menghargai dan menghormati. Dalam agama juga dianjurkan untuk mentaati aturan hukum yang berlaku. Namun pada kenyataannya, ada beberapa oknum yang justru melakukan pembangkangan. Karena merasa benar, mereka melawan aturan hukum dan terus mengeluarkan statemen yang bisa memicu kebencian. Hal semacam ini harus terus diwaspadai. Terlebih bibit intoleransi dan radikalisme juga bisa berpotensi menyusup di dalam provokasi tersebut. Tidak sedikit dari orang-orang tersebut yang terus berlindung dibalik nilai-nilai agama, untuk menutupi perilakunya yang salah tersebut. Masyarakat harus jeli dan obyektif. Jangan mudah terpengaruh oleh pernyataan pernyataan yang menyudutkan siapapun. Jangan mudah percaya informasi yang muncul, sebelum melakukan cek dan ricek. Jika memang mereka terbukti salah, tak perlu juga untuk saling hujat. Ingat, jika kita memang mengklaim diri sebagai pribadi yang taat agama, semestinya kita bisa mengedepankan perilaku yang sejuk, yang mengedepankan cinta kasih. Agama memang harus dibela. Namun juga harus sesuai dengan spirit usah menjelekkan orang lain karena dianggap salah. Tak usah pula mengkafirkan orang lain karena berbeda keyakinan atau latar belakang. Ingat, kita semua sudah berbeda sejak dari lahir. Negara ini pun juga berisi dengan berbagai macam keragaman suku, budaya, agama dan bahasa. Tak perlu menyatakan yang ini paling benar, yang itu paling salah. Biarlah urusan Allah yang menyatakan si A sesat atau tidak. Namun, dalam konteks bernegara, jangan menyalahkan hukum jika memang hukum telah bertindak secara benar. Terkadang banyak orang yang menyalahkan pemerintah dan hukum, lalu memprovokasi orang untuk melakukan pengerahan semua negara saat ini masih menjalani masa pandemi covid-19. Lebih baik kita berkonsentrasi untuk menjaga jarak, menjaga kesehatan agar penyebaran pandemi bisa dikendalikan. Kontrol juga pernyataan-pernyataan yang tidak perlu. Dan bagi seseorang yang punya pengikut banyak, mari saling mengingatkan untuk terus membekali diri dengan literasi, untuk tidak mudah terprovokasi. Kita adalah negara hukum. Mematuhi hukum juga diajarkan oleh agama. Karena itu, mari kita saling sinergi agar apa yang kita inginkan bisa terwujud di negeri ini. Salam damai. Lihat Humaniora Selengkapnya Jawabanpenting marena Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Tingkat kepatuhan hukum yang diperlihatkan oleh seorang warga negara, secara langsung menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang dimilikinya. Kepatuhan hukum mengandung arti bahwa seseorang memiliki kesadaran masyarakat taat hukumPenjelasansemoga membantu - Adjarian, sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita harus menaati segala peraturan yang telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga negara. Ketidakpatuhan warga negara terhadap aturan hukum juga dapat menjadikan aturan hukum tidak efektif. Nah, sebaik apapun suatu peraturan perundang-undangan akan menjadi sia-sia jika tidak dipatuhi oleh setiap warga negaranya. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mematuhi peraturan yang ada, ya. Baca Juga Makna dan Karakteristik Hukum Apakah Adjarian tahu, salah satu bentuk dari ketaatan terhadap peraturan hukum? Yap! melaksanakan setiap peraturan yang berlaku adalah satu bentuk dari ketaatan terhadap hukum, lo. Namun, terdapat berbagai bentuk ketaatan terhadap peraturan di setiap lingkungan, ya. Sekarang, yuk, kita simak informasi lengkap mengenai ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia berikut ini! "Sebagai warga negara Indonesia yang baik kita wajib menaati peraturan yang telah dibuat oleh lembaga-lembaga di Indonesia." Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Hukum adalah suatu kaidah, norma ataupun aturan yang dibuat oleh penguasa yang bersifat tertulis ataupun tidak tertulis yang disertai sanksi guna melindungi serta memberikan rasa keadilan demi terciptanya tata tertib serta kedamaian dalam kehidupan masyarakat dalam suatu dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa aspek atau alasan mengapa seseorang taat terhadap hukum yaituManusia mematuhi hukum jelas karena hukum itu merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat, karena sejatinya setiap manusia pasti mengharapkan kehidupan yang aman, nyaman, dan tentram, dapat terwujud dan dengan adanya hukum itu sendiri;Manusia mematuhi hukum karena adanya kepentingan-kepentingan masyarakat yang harus di jamin oleh wadah hukum itu sendiri;Manusia mematuhi hukum karena adanya sanksi yang dapat membuat seseorang wajib mematuhi hukum;Manusia mematuhi hukum karena manusia adalah makhluk sosial dengan harapan agar keanggotaan kelompok satu sama lain tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum kesadaran hukum dan ketaatan hukum dalam masyarakat adalah Kewajiban moral masyarakat secara individu untuk mentaati hukum .Kita memiliki alasan moral yang kuat untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh hukum, seperti, tidak melakukan penghinaan, penipuan, atau mencuri dari orang lain. Kita harus mentaati hukum, jika telah ada aturan hukum yang disertai dengan ancaman hukuman. Namun perlu sangat diperhatikan bagi penegak hukum ataupun pemerintah agar tidak bersifat diskriminatif dalam penegakan hukum , dimana yang sering terjadi hukum tajam kebawah namun tumpul keatas. Lihat Hukum Selengkapnya ArticlePDF Available AbstractKonstiusi kita menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, namun yang terjadi pada hari ini hukum tidak dihormati. Hukum akan bertalian erat dengan keadilan, kewibawaan, ketataan, yang selanjutnya menimbulkan kedamaian, serta peraturan dalam arti peraturan yang berisi norma. Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia seluruh manusia tanpa terkecuali. Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaanya, hukum dapat berlansung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal penegakan hukum yang telah kita laksanakan selama ini banyak pihak yang mengatakan bahwa penegak hukum di Indonesia masih lemah dan tidak mengerti hukum, dan penegakan hukum di Indonesia masih tergolong lemah. Serta ada yang mengatakan penekan hukum kita tersebut, banyak yang gagal. Dalam hal ini penegakan hukum merupakan suatu hal pokok didalam negara hukum, dimana penegakan hukum merupakan cerminan dari sebuah negara. Negara hukum yang baik akan mewujudkan penegakan hukum yang baik, sehingga masyarakat merasakan kenyamanan didalam sebuah negara hukum. Tulisan ini ini menjelaskan bagaimana penegakan hukum, dijalankan sesuai dengan aturan, serta bersifat responsif, sehingga mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Volume 11 Nomor 1, November 2019, p. 001 - 020 Faculty of Law, Marantha Christian University ISSN 2085-9945 e-ISSN 2579-3520 Nationally Accredited Journal by SINTA 1 MEWUJUDKAN PENEGAKAN HUKUM YANG BAIK DI NEGARA HUKUM INDONESIA Laurensius Arliman S Doctoral Student, Faculty of Law, Andalas University – Law School of Padang laurensiusarliman Abstract The Indonesian Constitution states that Indonesia is a state of law, but what is happening today is that the law is not respected. The law will be closely linked with justice to create the basis of the above, the author tries to present how many points in this article, related to realizing good law enforcement to realize the rule of law in Indonesia. This research is normative juridical research. From the conclusion of this paper it was found that the law has a function to provide protection for human interests all humans without exception. Therefore, the law must be implemented so that human interests can be protected. In practice, the law can run normally and peacefully, but there can also be violations of the law in practice. In terms of law enforcement that we have done, many people say that law enforcement in Indonesia is still weak and does not understand the law, and law enforcement in Indonesia is still relatively weak. Some say that our law enforcement has failed. In this case law enforcement is a central issue in the rule of law, where law enforcement is a reflection of a country. A good rule of law will result in good law enforcement, so people feel comfortable in the rule of law. This paper explains how law enforcement, carried out in accordance with the rules, and responsive, so as to realize Indonesia as a state law. Keywords Indonesia; Law enforcement; State law. PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia adalah negara yang didasarkan atas hukum Rechtsstaats, bukan negara yang didasarkan atas kekuasaan belaka Machtsstaat. Konsep negara hukum bisa diidealkan bahwa yang harus menjadi panglima dalam seluruh dinamika kehidupan 1 Awalnya ini hanya terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen hal ini telah diatur secara tegas di dalam batang tubuh yaitu pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Submitted 2019-08-14 Reviewed 2019-10-10 Accepted 2019-11-11 Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 2 kenegaraan adalah hukum, bukan politik maupun ekonomi. Penegakan sebagai simbol dari hukum harus lebih aktif dalam mewujudkan cita-cita dari sebuah negara hukum. Di tengah carut marutnya bangsa ini, persolan penegakan hukum menjadi perhatian utama yang mau tidak mau harus menjadi prioritas hukum terlihat dari tebang pilihnya penegakan hukum dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat lebih banyak mengenal hukum tajam kebawah tumpul ke atas. Pada hari kita disuguhkan banyak orang pintar, cerdas dan berdasi melakukan tindak pidana korupsi, dengan menghalalkan berbagai cara, dan hal lainnya yang dilakukan oleh penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum, yang mencoreng makna dan tujuan hukum sebagai alat yang mengatur kehidupan masyarakat demi memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatannya. Wajah hukum kita tampak mengalami kebekuan ketika berhadapan dengan problem-problem sosial, ekonomi, politik yang semakin parah. Sebuah masalah serius ini telah mengerogoti pranata sosial bangsa ini, baik itu elit penguasa hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat hukum diadakan untuk menghadirkan keadilan, kebaikan, dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat luas. Namun disayangkan penegakan hukum kita lebih berorientasi pada kepentingan yang berkuasa dibandingkan kepentingan rakyat. Tidak bisa dipungkiri, praktik hukum kita sedang mengalami persoalan akut, yang telah membudaya. Hal nyata ini dapat kita lihat, ketika hukum direduksi pada persoalan-persoalan prosedural semata, tanpa melihat aspek-aspek lainnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari paradigma postivisme hukum yang menjalar pada sudut pandang, tindakan, dan perwujudan penegakan hukum. Seharusnya, hukum harus diletakkan pada tujuan dan cita-cita sosial yang lebih luas dalam konteks reformasi hukum. Salah satunya melalui gerakan studi hukum kritis sebagai sebuah praktik diskursif yang berupaya melepaskan hukum dari jeratan postivisme. Istilah Negara hukum telah menjadi pokok pikiran para filsafat dengan renungan-renungan yang mendalam sejak berabad-abad. Pada mulanya istilah “Negara Hukum” baru ditemukan pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar Sementara. Cita-cita akan negara hukum ini adalah selaras dengan perkembangan kepastian hukum. Lihat dalam Ramli Hutabarat, Persamaan Di Hadapan Hukum, Jakarta Ghalia Indonesia, hlm. 11. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm 297. Laurensius Arliman S, Komnas Ham dan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana, Jakarta Deepublish, 2016, hlm. 12. Tommy Busnarma, “Penerapan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Di Pengadilan Negeri Padang”, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019. Satjipto Rahardjo, “Hukum Untuk Manusia, Bukan Manusia Untuk Hukum”, Jurnal Ultimatum, Edisi II, 2008, hlm. 47. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 3 Formalisme hukum disinyalir telah menjadi salah satu sebab ambruknya penegakan hukum. Akibat munculnya gelombang dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, hal ini menemukan puncaknya pada saat bangsa ini hendak melakukan reformasi di bidang hukum. Kegagalan dalam penegakan dan pemberdayaan hukum ditenggarai oleh sikap postivistik dalam memaknai negara hukum. Rusaklah negara hukum kita dan celakalah bangsa kita, bila negara hukum sudah direduksi menjadi “negara undang-undang” dan lebih celaka lagi mana kala ia kian merosot menjadi “negara prosedur”. Apabila negara hukum itu sudah dibaca oleh pelaku dan penegak hukum sebagai negara undang-undang dan negara prosedur, maka negeri ini sedang mengalami kemerosotan serius. Sekalipun memiliki sejumlah peraturan perundangan yang secara sistematik telah mapan, sadar apa tidak peraturan perundangan itu suatu saat hanya akan menjadi kumpulan kertas yang tidak memiliki daya mengikat terhadap masyarakat, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan sebenarnya ada dimana-mana, sebagaimana hukum-pun juga ada dimana-mana. Keadilan dapat muncul dalam berbagai bentuk, baik keadilan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, akan tetapi semuanya memang mahal harganya. Hukum nasional yang dalam bahasa akademik disebut hukum positif, tidak bisa menjadi penjamin terwujudnya keadilan kemakmuran dan kebahagiaan, tidak akan jatuh dari langit, dan tidak akan hadir sebagai bagian kehidupan manusia tidak berusaha untuk mendapatkannya. Bahkan, terkadang manusia baik secara individu maupun kelompok telah berusaha secara maksimal dengan mendayagunakan akal pikirannya, akan tetapi keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan tetap jauh juga dari kenyataan. Kenyataan dan berbagai pengalaman pahit yang hadir dalam kehidupan, kiranya semakin menyadarkan kita bahwa kehidupan di dunia ini memang sekedar sebuah permainan. Terserahalah pada kita, mau berperan sebagai apa dalam permainan itu. Apakah kita menjadi sutradara, pemeran yang serakah, sekedar pemain komedi, ataukah penonton? Atas dasar hal diatas penulis mencoba menyajikan berapa poin-poin didalam artikel ini, terkait mewujudkan penegakan hukum yang baik untuk mewujudkan negara hukum di Indonesia. Antara lain penulis menyajikan apa itu hukum? serta bagaimana penegakan Faisal, “Mengagas Pembaharuan Hukum Melalui Studi Hukum Kritis”, Jurnal Ultimatum, Edisi II, 2008, hlm. 16. Laurensius Arliman S, “Partisipasi Masyarakat di dalam Perlindungan Anak yang Berkelanjutan Sebagai Bentuk Kesadaran Hukum”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 2, 2016. Sudjito, “Critical Legas Studies CSL dan Hukum Progresif Sebagai Alternatif Dalam Reformasi Hukum Nasional dan Perubahan Kurikulum Pendidikan Hukum”, Jurnal Ultimatum, Edisi II, 2008, hlm. 3. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 4 hukum dan makna dari negara hukum, serta gagasan penegakkan hukum di negara Indonesia. PEMBAHASAN Mengenal Apa Itu Hukum? Hanya ada sedikit persolan tentang masyarakat manusia yang telah dinyatakan dengan demikian gigih dan dijawab oleh para pemikir dengan berbagai cara yang aneh dan bahkan paradoksal seperti halnya persoalan “apa itu hukum?”. Bahkan jika kita membatasi pembahasan kita hanya pada teori hukum dari 150 tahun terakhir ini dan mengesampingkan spekulasi klasik dan masa pertengahan mengenai hakikat hukum, kita akan menemukan suatu situasi yang tidak ada bandingannya dalam pokok bahasan lainnya yang dikaji secara sistematis sebagai sebuah dispilin akademik banyak literatur yang disusun untuk menjawab persoalan “apa itu kimia?” atau “apa itu ilmu kedokteran?”, seperti halnya persoalan “apa itu hukum?”. Hanya berapa baris di halaman awal buku teks dasar yang perlu dijawab oleh para mahasiswa yang mempeljari ilmu-ilmu tersebut dan jawaban-jawaban yang diberikan oleh mahasiswa hukum. Orang tidak memandang terlalu penting pendirian bahwa ilmu kedokteran adalah “apa yang dilakukan oleh para dokter untuk menangani penyakit” atau “prediksi mengenai apa yang akan dilakukan oleh para dokter” atau para pendirian bahwa apa yang dikenal sebagai bagian sentral dan umum dari ilmu kimia, katakanlah stuid mengenai asam, bukan merupakan bagian dari ilmu kimia sama sekali. Namun, dalam konsep hukum, hal-hal yang awalanya kelihatan asing seperti ini sudah sering dikemukakan dan bukan hanya disampaikan dengan fasih dan bersemangat, seolah-olah semua itu adalah wahyu yang benar tentang hukum, yang lama dikaburkan oleh penyampaian yang menyimpang jauh dari hakikat esensialnya. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selanjutnya diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan Recht berasal dari kata “Rectum” bahasa latin Danel Aditia Situngkir, “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana Internasional”, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018. Hart, The Concept of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1997, Penerjemah M. Khozim, Konsep Hukum, Cetakan Ketujuh, Bandung Nusa Media, 2016, hlm. 1-2. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ketiga Belas, Jakarta Sinar Grafika, hlm. 24. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 5 yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan, atau pemerintahan. Bertalian dengan rectum dikenal juga istilah “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. Rex juga dapat diartikan “Raja” yang mempunyai Regimen yang artinya kerajaan. Kata Rectum dapat juga dihubungkan dengan kata “Directum” yang artinya orang yang mempunyai pekerjaan membimbing atau mengarahkan. Kata-kata Directur atau rector mempunyai arti yang Recht atau bimbingan atau pemerintahan selalu didukung oleh kewibawaan. Seorang yang membimbing, memerintah haruslah mempunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan ketaatan, sehingga orang yang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh orang lain. Dengan demikian perkataan recht mengandung pengertian kewibawaan dan hukum atau recht itu ditaati orang yang secara sukarela. Dari kata recht tersebut timbul istilah “Gerechtigheid”. Ini adalah bahasa Belanda atau “gerechtikeit” dalam bahasa Jerman berarti keadilan, sehingga hukum juga mempunyai hubungan erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian recht dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsur penting yaitu “kewibawaan dan keadilan”. Kata Ius latin berarti hukum, berasal dari bahasa latin “Iubere” artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur dan memerintah itu mengandung dan berpangkal pokok pada kewibawaan. Selanjutnya istilah Ius bertalian erat dengan “Iustitia” atau keadilan. Pada jaman dulu bagi orang Yunani Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya tertutup dengan tangan kirinya memegang neraca dan tangan kanan memegan sebuah pedang. Adapun lambang tersebut mempunyai arti sebagai berikut a Kedua mata tertutup. Ini berarti bahwa di dalam mencari keadilan tidak boleh membedakan terhadap si pelaku. Apakah ia kaya, miskin, mempunyai kedudukan tinggi atau rendah. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa di dalam mencari keadilan tidak boleh pandang boleh; b Neraca. Ini melambangkan keadilan. Dalam mencari dan menerapkan keadilan harus ada kesamaan atau sama beratnya; c Pedang. Adalah perlambangan dari keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu hukum dan dimana perlu dengan hukuman mati. Jadi secara etimologis, dapat disimpulkan bahwa Ius yang berarti hukum bertalian erat dengan keadilan Iustitia yang mempunyai 3 tiga unsur wibawa, keadilan dan tata kedamaian. Ibid, hlm. 24-25. Ibid, hlm. 25-26. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 6 Sedangkan kata Lex berasal dari bahasa latin dan berasal dari kata “Lesere”. Lesere memiliki arti mengumpulkan orang-orang untuk diperintah. Jadi di sini terkandung adanya hukum ialah wibawa atau otoritas, sehingga kata Lex yang berarti hukum sangat erat hubungannya dengan perintah dan wibawa. Berdasarkan uraian di atas dan sehubungan dengan arti kata hukum, maka dapat disimpulkan bahwa a Pengertian hukum itu bertalian erat dengan keadilan; b Pengertian hukum bertalian erat dengan kewibawaan; c Pengertian hukum bertalian erat dengan ketataan/orde yang selanjutnya menimbulkan kedamaian; d Pengertian hukum bertalian erat dengan peraturan dalam arti peraturan yang berisi norma. Mengenai masalah pengertian hukum ini, seorang Immanuel Khant pernah menulis bahwa “Noch Sucen Die Juristen Eine Definition Zu Ihrem Begriffe Von Recht”, yang berarti bahwa Para Sarjana Hukum masih mencari-cari pengertian hukum. Apa yang dituliskan oleh Immanuel Khant sekitar 200 tahun yang lalu tersebut ternyata masih berlaku hingga saat ini. Telah banyak diantara para sarjana dan ahli hukum yang coba memberikan pengertian hukum, namun tidak satupun diantara pengertian hukum yang diberikan bisa memberikan kepuasaan atas pertanyaan apa pengertian hukum. Berikut ini adalah beberapa pendapat dari sarjana hukum pakar hukum yang coba memberikan pengertian hukum, antara lain 1 Imanuel Kant memberikan pengertian bahwa hukum ialah keseluruhan syarat-sayarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendank bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. 2 Leon Duguit mengungkapkan Pengertian Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, dimana aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu. 3 Pengertian Hukum menurut Meyers adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditunjuk kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi pengusaha negara dalam melakukan tugasnya. 4 Pengertian hukum menurut oleh Van Apeldoorn. Dalam bukunya “Inleiding Tot De Studie Van Het Netherlandse Recht” yang diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Van Apeldoorn, menyatakan bahwa adalah tidak mungkin memberikan definisi terhadap apa yang disebut dengan hukum pengertian hukum sebenarnya hanya menyamaratakan saja, Ibid, hlm. 26. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Kedua Belas, Jakarta Balai Pustaka, 2002, hlm. 34-36. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 7 dan itupun tergantung siapa yang meberikan. Menurut Van Apeldoorn Pengertian Hukum adalah sangat sulit untuk dibuat dan karena itu tidak mungkin dapat mengadakannya sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Lebih lanjut. Van Apeldoorn menyatakan bahwa hampir semua sarjana hukum memberikan batasan definisi hukum yang berlainan. 5 Soerojo Wignjodipoero, menyatakan bahwa hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang berisikan suatu perintah, larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, bersifat memaksa serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat. 6 Simorangkir dan Woerjono Sastroparnoto, menyatakan bahwa hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib dimana pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut akan mengakibatkan hukuman yang tertentu. Dari Pendapat para sarjana diatas dapat disimpulkan bahwa, Pengertian Hukum adalah seperangkat norma atau kaidah yang berfungsi mengatur tingkah laku manusia dengan tujuan untuk ketentraman dan kedamaian di dalam masyarakat. Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi perintah ataupun larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang aman, tertib, damai dan tentram, serta terdapat sanksi bagi siapapun yang melanggarnya. Tujuan dari hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Tujuan hukum dalam gagasan berwujud dalam ketidak berwujudan contohnya seperti bahasa. Dalam realisasi berwujud yakni apapun saja yang berwujud, contohnya seperti huruf. Pada manusia wujud tak berwujud adalah berupa jiwa dan roh, sementara wujud yang berwujud adalah tubuh. Tujuan hukum adalah memenuhi hukum adanya. Hukum pada manusia bertujuan membuat manusia tahu ketidaktahuannya, bahwa ia ada demi keberadaaannya, yakni manusia yang berkemanusiaan bersanding dengan hidup atas kehidupan untuk membedakan ataupun menyamakan dualism yang satu, yang senantias beriringan, yakni antara tahu dan tidak tahu, dalam ide dan materi yang ditrejemahkan oleh akal budinya, yang ide ataupun materi itu sendiri sedianya ada dan tertuang dalam sikap tindak yang merupakan peleburan antara ide dan materi, antara jiwa dengan fisik, yang tampak akan kemanusiannya dan beriringan dengan kehidupannya. Hal inilah yang umumnya dikatakan sebagai “selaras, seimbang ataupun serasi”. Soeroso, Op. Cit, hlm. 28-29. Muhammad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi kritis Terhadap Hukum, Jakarta Rajawali Pers, 2011, hlm. 120. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 8 Juga dapat disimpulkan pula bahwa pengertian hukum diatas, mengandung beberapa unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut Hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, maksudnya adalah bahwa hukum itu dibuat secara tertulis dan terdiri dari kaidah yang mengatur berbagai kepentingan 1 Hukum dibuat oleh lembaga yang berwenang adalah bahwa hukum merupakan produk dari lembaga yang telah diberi amanah untuk membuat hukum; 2 Hukum bersifat memaksa, yakni penegakan hukum dilaksanakan oleh aparat yang memiliki kewenangan tertentu yang dapat memaksa orang untuk mematuhi hukum; 3 Hukum berisi perintah dan larangan adalah bahwa hukum memuat perintah-perintah yang harus dilaksanakan dan larangan-larangan yang harus ditinggalkan atau tidak boleh dilaksanakan. 4 Hukum memberikan sanksi adalah apabila hukum tersebut dilanggar maka pelanggar akan dikenakan sanksi dimana pemberian sanksi terhadap pelanggar melalui sebuah proses yang juga diatur dalam hukum. Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia seluruh manusia tanpa terkecuali. Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaanya, hukum dapat berlansung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Terkait hal ini, hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan secara optimal. Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Satjipto Rahardjo mempunyai pandangan bahwa alternatif pembaharuan hukum adalah kembali kepada paradigma perilaku. Kalau untuk Indonesia paradigma perilaku untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tidak kalah pentingya bahwa paradigma akut harus ditinggalkan, untuk menjalankan hukum, bersatulah jika hukum berjalan progresif. Kalau makna kritis itu dimaknai dalam arti khas fenomena Indonesia, ialah sebuah gerakan melawan status quo membawa amanat yang tidak mendatangkan kebahagiaan bagi rakyat. Jadi makna kritis itu diterjemahkan bahwa hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya. Laurensius Arliman S, “Peranan Filsafat Hukum Dalam Perlindungan Hak Anak Yang Berkelanjutan Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum Doctrinal, Volume 1, Nomor 2, 2017. Ismansyah dan Andreas Ronaldo, “Efektivitas Pelaksanaan Hukum Dalam Menyelesaikan Konflik Sosial Untuk Mewujudkan Keadilan”, Jurnal Delicti, Volume XI Nomor 3, 2013, hlm. 1. Satjipto Rahardjo, hlm. 50. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 9 Penegakan Hukum di Dalam Negara Hukum Bahasa Indonesia mengenal dengan beberapa istilah di luar penegakan hukum, seperti “penerapan hukum”. Tetapi tampaknya istilah penegakan hukum adalah yang paling sering digunakan, dengan demikian pada waktu-waktu mendatang istilah tersebut akan makin mapan atau merupakan istilah yang dijadikan coined. Dalam bahasa asing kita juga mengenal berbagai peristilahan, seperti rechtstoeapassing, rechtshandhhaving Belanda; law enfocement, application Amerika.Terhadap penegakkan hukum, ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum rechtssicherheit, kemanfaatan zweckmassigkeit, dan keadilan gerechtigkeit. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat diterapkannya hukum dalam hal ini terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus".Itulah yang diinginkan oleh kepastian selalu mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum, masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan harus yang paling utama diperhatikan. Kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyatannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat, sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perakara tersebut. Didalam struktur kenegaraan modern, maka tugas penegakan hukum itu dijalankan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh birokrasi dari eksekutif tersebut, sehingga sering disebut juga birokrasi penegakan hukum. Sejak negara itu mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan dalam masyarakat, maka memang campur tangan hukum juga makin intensif, seperti dalam bidang-bidang kesehatan, perumahan, produksi, dan pendidikan. Tipe negara yang demikian itu dikenal sebagai welfare state. Eksekutif Laurensius Arliman S, Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat, Yogyakarta Deepublish, 2015, hlm. 34. Hal ini dapat diartikan sebagai berikut meskipun dunia runtuh, hukum harus ditegakkan. Ismansyah, hlm. 1. 20 Welfare state adalah gagasan yang telah lama lahir, dirintis oleh Prusia di bawah Otto Von Bismarck sejak tahun 1850-an. Dalam Encyclopedia Americana disebutkan bahwa welfare state adalah "a form of government in which the state assumes responsibility for minimum standards of living for every person" bentuk pemerintahan di mana negara dianggap bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup minimum bagi setiap warga negaranya. Welfare state adalah negara kesejahteraan, konsep ini muncul menggantikan konsep legal state atau Negara penjaga malam. Didalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta Rajawali Press, 2006, hlm. 14. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 10 dengan birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang tercantum dalam peraturan hukum yang menangani bidang-bidang menurut Jimly Asshiddiqie penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah the rule of law’ versus the rule of just law’ atau dalam istilah the rule of law and not of man’ versus istilah the rule by law’ yang berarti the rule of man by law’. Dalam istilah the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai Satjipto Rahadjo, Op. Cit, hlm. 181. Laurensius Arliman S, “Pendidikan Paralegal Kepada Masyarakat Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Yang Berkelanjutan”, UIR Law Review, Volume 01, Nomor 01, 2017. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 11 keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah the rule of just law’. Dalam istilah the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara konsepsional, maka inti dari arti penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkain penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih hukum itu sendiri tidak terlepas dari peran serta dari penegak hukum, karena penegak hukumlah yang nantinya menegakkan aturan hukum tersebut. Apabila penegak hukum mempunyai mental yang bobrok maka akan menciptakan penegakan hukum yang bobrok pula, begitu pula sebaliknya apabila penegak hukum mempunyai mental yang baik dalam menjalankan/menegagkan aturan hukum maka akan menciptakan penegakan hukum yang baik dan bersifat responsif. Jimly melihat bahwa pengakan hukum law enforcement dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukumserta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukumataupun melallui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya alternative desputes or conflicts resolution. Jimly Asshiddiiqie, 2008, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 62. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta Rajawali Pers, 2012, hlm. 5. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 12 Karakter Penegakkan Hukum Yang Ideal di Negara Indonesia Hukum acapkali dilihat dan ditanggapi secara klasik yang menyangkut hanya istitusi penegakan hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat dan lapas. Secara sosiologis di kalangan akar rumput dan kaum awam, hukum dijumbuhkan dengan polisi, jaksa, dan atau hakim. Jadi kalau aparat hukum lazimnya disebut “oknum’ ini brengsek, suka memeras melakukan kekerasan dan atau pelanggaran HAM dan KKN, maka denga sendirinya hukum dijumbuhkan dan dianggap seperti perilaku mereka, meskipun hukum “an sich” secara legalistic positivistic tidaklah demikian. Hukum bukan persona dan tidak mungkin dengan sendirinya beraktivitas seperti menyiksa, memeras dan seterusnya, kecuali kalau ditangani atau digerakkannya oleh manusia yang diberi kewenangan baju kalau hendak melihat secara holistik yang menyangkut seluruh ranah dan bidang di luar institusi penegakan hukum secara klasik, maka tidaklah berkelebihan kalau dikatakan bahwa seluruh ruang lingkup kehidupan dan penghidupan manusia dari akar rumput sampai di tingkat kepemimpinan negara dan bangsa ditata dan dikelola oleh mekanisme hukum tanpa kecuali. Mulai dari sebelum lahir, melalui proses kedewasaan, menikah sampai pada kematian dijamah oleh dan ditata melalui instrumen hukum. Tidaklah mengherankan kalau hukum lalu diklasifikasikan dalam berbagai bidang subdisiplin dan komponen dimana ia akan berinteraksi dengan berbagai perangkat skala nilai dan sanksi moral sampai pada ancaman pidana. Oleh sebab itu tidaklah muda untuk memisahkan walaupun secara teoritis dan acapkali secara praktis bidang-bidang hukum dapat dibedakan. Yang jelas ini bertalitemali dengan moral dan etika dan dalam diskursus menyangkut perspektif filosofis, sosiologis dan berbagai displin ilmu. Jadi kalau ada sebagian dari ranah dan bidang hukumyang mulai busuk, jika tidak “diamputasi” atau ditangani dengan terarah, tegas, transparan serta baik atau kemudian membiarkan terus membusuk, maka itu cuma soal waktu diman semuanya,inkulsif aparat dan institusi akan secara bertahan ikut terkontaminasi dan ikut pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapakan kepentingan manusia akan terindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiaban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi Jacob Elfinus Sahetapy, Sahetapy Yang Memberi Teladan Dan Menjaga Nurani Hukum Dan Politik, Jakarta Komisi Hukum Nasional RI, 2007, hlm. 11. Ibid, hlm. 12. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 13 wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Hal tersebut di atas tidak mungkin terwujud dalam masyarakat jika aparat penegak hukum tidak memainkan perannya dengan maksimal sebagai penegak hukum. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan status dan peranan role. Kedudukan sosial merupakan posisi tertentu dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu merupakan peranan role. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan role occupant. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan dalam unsur-unsur sebagai berikut a peranan yang ideal ideal role; b peranan yang seharusnya expected role; c peranan yang dianggap oleh diri sendiri perceived role, dan d peranan yang sebenarnya dilakukan aktual role. Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik status conflict dan conflict of role. Kalau dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan role-distace. Masalah peranan dianggap penting, oleh karena pembahasan menganai penegak hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi pertimbangan. Sebagaimana dikatakan di muka, maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang dalam melaksanakan penegakan hukum diskresi sangat penting, apabila hukum itu tertinggal dari perkembangan kehidupan masyarakat dan perkembangan teknologi yang belum diatur oleh hukum yang berlaku pada saat ini, diskresi ini dilaksanakan karena a tidak ada peraturan perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia; b kelambatan- Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta Liberty, 1999, hlm. 71. Soekanto, Op. Cit, hlm. 20. Ibid, hlm 21. Miszuarty Putri, “Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Sebagai Bentuk Pembaruan Hukum Pidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017”, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019. Ibid, hlm 21-22. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 14 kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga akan menimbulkan suatu ketidakpastian; c kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang, dan d adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. Penggunaan perspektif peranan dianggap mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu, oleh karena a faktor utama adalah dinamika masyarakat; b mudah untuk membuat suatu proyeksi, karena pemusatan perhatian pada segi prosesual; c lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta tanggung jawab, daripada kedudukan dengan lambang-lambangnya yang cenderung bersifat konsumtif. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai karakter penegak hukum baca kepolisian, kejaksaan, kehakiman, advokat dan advokat yang ideal dan peranan yang seharusnya dari masing-masing penegak hukum akan dipaparkan sebagi berikut 1 Penyidik, adapun peranan ideal dari Penyidik adalah menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara. Dimana peranan seharusnya seorang penyidik adalah 1 memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2 menegakkan hukum; 3 memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat; 2 Kejaksaan, peranan yang ideal dari kejaksaan, yaitu sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, dan peranan yang seharusnya oleh kejaksaan adalah alat Negara yang bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang; 3 Kehakiman, peranan yang ideal bagi kehakiman tertuang didalam undang-undang kekuasaan kehakiman, yang menyatakan kekuasaan kehakiman adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan UUD 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik peranan yang seharusnya, yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Berhubungan dengan hal ini, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan 1 Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan; 2 Pengadilan dalam mengadili mengadili menurut Ibid, hlm 22-23. Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 15 hukum tanpa membeda-bedakan orang; 3 Pengadilan wajib untuk memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya meskipun undang-undang yang mengaturnya tidak ada atau kurang jelas; 4 Advokat, peranan yang ideal advokat adalah memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang Advokat. Terhadap Peranan yang seharusnya yaitu memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien; 5 Lembaga Pemasyarakatan, peranan ideal dari lembaga pemasyarakatan adalah untuk melakukan kegiatan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Dimana sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Terhadap peranan yang seharusnya lembaga pemasyarakatan, adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik dipaparkan secara ringkas mengenai peranan yang ideal dan yang seharusnya, maka timbul pertanyaan bagaimanakah dengan peranan yang sebenarnya atau peranan aktual. Jelaslah bahwa hal itu menyangkut perilaku nyata dari para pelaksana peran, yakni para penegak hukum yang disatu pihak menerapkan perundang-undangan, dan dilain pihak melakukan diskresi di dalam keadaan-keadaan melaksanakan peranan aktual, penegak hukum sebaiknya mampu mulat sarira atau mawas diri, hal ini akan tampak pada perilakunya yang merupakan pelaksanaan peranan aktualnya. Agar mampu untuk mawas diri penegak hukum harus berikhtiar untuk 1 sabenare logis, yaitu dapat membuktikan apa atau mana yang benar dan yang salah; 2 Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Soekanto, Op. cit, Faktor, hlm. 28-30. Ibid, hlm 29-30. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 16 samestine etis, yaitu bersikap tidak maton atau berpatokan dan tidak waton ialah asal saja sehingga sembrono atau ngawur. Ukuran maton itu ialah a sabutuhe yang maksudnya tidak serakah; b sacukupe yaitu mampu tidak berkekurangan tetapi juga tidak serba berkelebihan, dan c saperlune, artinya lugu, lugas tidak bertele-tele tanpa ujung pangkal; 3 Sakapenake estetis, yang harus diartikan mencari yang enak tanpa menyebabkan tidak enak pada pribadi lain. Hal-hal tersebut hanya mungkin, apabila dilandaskan pada paling sedikit dua asas, yakni 1 apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminy, dan 2 apa yang boleh anda perdapat, biarkanlah orang lain berikhtiar mendapatkannya. Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari penegak hukum dalam menerapkan hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut menurut Soerjono Soekanto adalah1 Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; 2 Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi; 3 Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi; 4 Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan serta kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiel; 5 Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Selanjutnya dalam menjalankan perannya untuk menegakan hukum di tengah masyarakat, para penegak hukum juga harus memperhatikan norma-norma atau kaidah yang wajib ditaati oleh para penegak atau pemelihara hukum. Norma tersebut perlu ditaati terutama dalam menggembalakan hukum, menyusun serta memelihara hukum. Menurut O. Notohamidjojo sebagai mana dikutip oleh E. Sumaryono, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu1 Kemanusiaan, norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi; 2 Keadilan, keadilan adalah kehendak yang adil dan kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya; 3 Kepatutan, kepatutan atau equity adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Kepatutan ini perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan hidup manusia dalam masyarakat; 4 Kejujuran, pemelihara Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga Negara Independen Di Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Yogyakarta Deepublish, 2016, hlm. 67. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta Kanisius, 1995, hlm. 115-116. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 17 hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur dalam mengurus atau menangani hukum serta dalam melayani justitiable’ yang berupaya untuk mencari hukum dan keadilan. Atau dengan kata lain, setiap yurist diharapkan sedapat mungkin memelihara kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang curang dalam mengurus perkara. Jadi, hal-hal diatas perlu ditekankan dan dituntut pada setiap pemelihara atau penegak hukum, terutama pada zaman atau kurun waktu di mana norma-norma etika melemah dalam masyarakat. Para penegak hukum, melalui penyadaran atau terhadap ketentuan tersebut, diharapkan dapat menjaga moralitasnya yang setinggi-tingginya di dalam mengembalakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. PENUTUP. Bila menjelaskan dan mencari tahu tentang pengertian hukum, maka itu akan bertalian erat dengan keadilan, kewibawaan, ketataan/orde yang selanjutnya menimbulkan kedamaian, serta peraturan dalam arti peraturan yang berisi norma. Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia seluruh manusia tanpa terkecuali. Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaanya, hukum dapat berlansung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal penegakan hukum yang telah kita laksanakan selama ini banyak pihak yang mengatakan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih tergolong lemah, dan bahkan penegakan hukum di Indonesia masih tergolong lemah, dan bahkan ada yang mengatakan penekan hukum kita tersebut banyak yang gagal. Dalam hal ini penegakan hukum merupakan suatu hal pokok didalam negara hukum, dimana penegakan hukum merupakan cerminan dari sebuah negara. Negara hukum yang baik akan mewujudkan penegakan hukum yang baik, sehingga masyarakat merasakan kenyamanan didalam sebuah negara hukum. Sehingga kesimpulan tulisan ini adalah, dengan menjalankan penegakan hukum sesuai dengan aturan yang bersifat responsif, maka negara hukum di Indonesia akan terwujud. Menurut penulis ke depan, para pemikir hukum baik itu akademisi dan praktisi yang ahli dalam bidangnya, harus lebih memeberikan titik berat kepada mahasiswa, dalam penegakan hukum dan pengawasan terhadap pembuatan dan pelaksanaan hukum itu sendiri. Hukum itu akan selalu besinggungan dengan kehidupan masyarakat, baik masyarakat secara Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 18 inidvidu, perkelompok ataupun secara keseluruhan dan massal. Maka dari itu hukum harus memampu mengayomi semua hal yang ada didalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Terkait hal itu, maka itu semua dimulai dari proses akademisi Fakultas Hukum untuk mendidik para sarjana hukum dengan baik, sehingga kedepan didalam pengabdiannya terhadap gelar sebgagai seorang Sarjana Hukum akan mendampak yang lebih baik dan hukum lebih responsif kepada masyarakat. Kepada penegak hukum agar menjalankan aturan dilapangan harus sesuai dengan ketentuan yang ada, norma-norma yang ada serta peraturan yang hidup dimasyarakat living law yang tidak berbenturan dengan hukum yang ada pada saat ini. Hal ini menjelaskan kepada masyarakat, bahwa penegak hukum taat kepada hukum, dan memberikan contoh kepada masyarakat untuk taat kepada hukum juga. DAFTAR PUSTAKA Buku Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Kedua Belas, Jakarta Balai Pustaka, 2002. Hart, Konsep Hukum, Cetakan V, Bandung Nusa Media, 2011. Jacob Elfinus Sahetapy, Sahetapy Yang Memberi Teladan Dan Menjaga Nurani Hukum Dan Politik, Jakarta Komisi Hukum Nasional RI, 2007. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta Bhuana Ilmu Populer, 2007. ______________, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008. Laurensius Arliman S, Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat, Yogyakarta Deepublish, 2015. ___________________, Komnas Ham dan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana, Jakarta Deepublish, 2016. Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga Negara Independen Di Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Yogyakarta Deepublish, 2016. Muhammad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi kritis Terhadap Hukum, Jakarta Rajawali Perss, 2011. Ramli Hutabarat, Persamaan Di Hadapan Hukum, Jakarta Ghalia Indonesia, 1995. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta Raja Grafindo, 2006. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta Liberty, 1999. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 19 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ketiga Belas, Jakarta Sinar Grafika, 2013. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta Rajawali Perss, 2012. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta Kanisius, 1995. Jurnal Danel Aditia Situngkir, “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana Internasional”, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018. Faisal, “Mengagas Pembaharuan Hukum Melalui Studi Hukum Kritis”, Jurnal Ultimatum, Edisi II September 2008. Ismansyah dan Andreas Ronaldo, “Efektivitas Pelaksanaan Hukum Dalam Menyelesaikan Konflik Sosial Untuk Mewujudkan Keadilan”, Jurnal Delicti, Volume XI Nomor 3, 2013. Laurensius Arliman S, “Partisipasi Masyarakat di dalam Perlindungan Anak yang Berkelanjutan Sebagai Bentuk Kesadaran Hukum”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 2, 2016. __________________, “Peranan Filsafat Hukum Dalam Perlindungan Hak Anak Yang Berkelanjutan Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum Doctrinal, Volume 1, Nomor 2, 2017. __________________, “Pendidikan Paralegal Kepada Masyarakat Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Yang Berkelanjutan”, UIR Law Review, Volume 01, Nomor 01, 2017. Miszuarty Putri, “Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Sebagai Bentuk Pembaruan Hukum Pidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017”, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019. Satjipto Rahardjo, “Hukum Untuk Manusia, Bukan Manusia Untuk Hukum”, Jurnal Ultimatum, Edisi II September 2008. Sudjito, “Critical Legas Studies CSL dan Hukum Progresif Sebagai Alternatif Dalam Reformasi Hukum Nasional dan Perubahan Kurikulum Pendidikan Hukum”, Jurnal Ultimatum, Edisi II September 2008. Tommy Busnarma, “Penerapan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Di Pengadilan Negeri Padang”, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019. Dialogia Iuridica Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi Vol. 11 1 001-020 20 Perundang-undangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. ... Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu Arliman, 2020. Hukum merupakan keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan Suprapto, 2016. ...... Teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hukum yang berkaitan dengan filsafat hukum dan teori politik Arliman, 2020. Teori hukum merupakan suatu yang mengarah kepada analisis teoritik secara sistematis terhadap sifat-sifat dasar hukum, aturan-aturan hukum atau intitusi hukum secara umum Suhendri, 2019. ...Siti FatimahElisa WidiantiRista Emmy AzizahMuhammad FahmiThe purpose of this paper is to examine the legal aspects of business. In connection with any framework contained in business law, including knowing about legal definitions, business definitions, legal rules and business law, sources of business law, the scope of business law, business law theories, objects and subjects of business law, classification and business law groupings, as well as the functions and benefits of business law. Therefore, the results of this paper aim to explain all aspects of business law as a whole and it can be concluded that the aspects of business law are a science that has a very broad scope.... Human rights and the state law cannot be separated, in fact thinking legally is related to the idea of how justice and order can be realized. Thus, the recognition and inauguration of the rule of law Arliman, 2019 one of its objectives is to protect human rights which mean the rights and freedoms of individuals are recognized, respected, and upheld by the government, including the people. ...Dany Try Hutama HutabaratZenny FransiscaFauziah RitongaSuryadiHuman rights are a natural right that a person is born with; they cannot be taken away and their existence cannot be denied; in addition, human rights serve as accolades. Human rights and the rule of law are inextricably linked, and the rule of law, of course, prioritizes and defends human rights. The function of the law itself is to safeguard humans while they pursue their varied interests, with the caveat that individuals must also consider the interests of others in their pursuit of their own interests. In addition to the protection provided by the law, we have the right to protection from the government. The existence of a state of law signifies that both the state and society acknowledge the importance of human rights protection and guaranteeing their fulfillment. It will be possible to impose the appropriate punishment if a breach of human rights occurs in this manner. It is necessary to understand the relationship between the state of law and human rights in order to prevent human rights breaches from Galang SaputraThe results of the study indicate that the implementation of the installation of CCTV E-Tickets in an Effort to Prevent Traffic Violations is based on the National Police Chief's program in improving the image of the police. In addition, compliance with the installation of CCTV E-Tickets in Efforts to Prevent Traffic Violations is based on the legitimacy of authority. However, in its implementation several obstacles were found so that the application was only limited to trials and turned into judicial operations. Thus, the implementation of the installation of CCTV E-Tilang in Efforts to Prevent Traffic Violations can be concluded that it has not succeeded in preventing traffic violations or increasing public legal awareness. Thus, CCTV E-Tilang and INCAR cars must be implemented and sustainable so that they can influence the public's legal awareness to be orderly in BurhanuddinThe Covid-19 pandemic has had a significant impact on people’s lives. Many people were forced to lose their jobs due to the layoffs carried out by several factories. Almost all people were restricted in their movements, which made it difficult for their economy and led to difficulties in meeting their basic daily needs. It causes some people to commit crimes to make ends meet and their families. The state of the people’s economy, which has not returned to its maximum as before the Covid-19 pandemic, has given rise to crime and corruption, which continue to occur daily. Therefore, there is a need for a settlement in tackling various crimes that law enforcers must uphold in dealing with criminal acts of corruption and street crimes. In this paper, the author uses the normative juridical method. The author examines matters relating to digital disruption in the law enforcement process at the judiciary during the Covid-19 pandemic. The authors conducted a literature study to support this method by analyzing secondary data from primary and secondary legal materials. From the research that the author conducted, the authors obtained several factors that motivated a person to commit crimes during the Covid-19 pandemic, including economic factors, the social environment, the scene, and the consequences of crimes in other places also triggered the perpetrators to move. In addition to these crimes, this country also has problems in law enforcement that are less than optimal due to online trials. Therefore, the government continues to regulate regulations to prevent the spread of Covid-19 and enforce the law as effectively as possible, despite several obstacles to its implementation. Abstrak Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Banyak masyarakat yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan akibat pemberhentian yang dilakukan oleh sejumlah pabrik, dan hampir seluruh masyarakat terbatasi geraknya sehingga menyulitkan perekonomian mereka dan berujung pada kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini menyebabkan sebagian orang melakukan tindak kejahatan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Keadaan perekonomian masyarakat yang belum kembali maksimal sebagaimana sebelum pandemi Covid-19 menimbulkan kejahatan dan korupsi yang semakin hari terus terjadi. Maka dari itu perlunya suatu penyelesaian dalam menanggulangi berbagai kejahatan yang harus ditegakkan oleh penegak hukum dalam menghadapi tindak pidana korupsi dan kejahatan jalanan. Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode yuridis normatif. Penulis meneliti hal-hal yang menyangkut wujud disrupsi digital dalam proses penegakan hukum di lembaga kejaksaan pada masa pandemi Covid-19. Untuk mendukung metode ini penulis melakukan studi kepustakaan dengan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dari telaah yang penulis lakukan penulis mendapatkan beberapa faktor yang menjadi pendorong seseorang melakukan kejahatan di masa pandemi covid-19, di antaranya faktor ekonomi, lingkungan sosial, tempat kejadian, dan juga akibat kejahatan-kejahatan di tempat lain yang ikut memicu tergeraknya pelaku. Selain tindak kejahatan tersebut, negeri ini juga memiliki problem dalam penegakan hukum yang kurang maksimal akibat dari persidangan secara online. Maka dari itu pemerintah terus mengatur regulasi, peraturan-peraturan dalam upaya mencegah perluasan covid-19 serta tetap melakukan penegakan hukum seefektif mungkin, meskipun terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaannya. Kata kunci Penegakan Hukum, Lembaga Penegak Hukum, Covid-19Novia Isro’atul MutiahLaw enforcement in Indonesia has been regulated in the 1945 Constitution paragraph 1 of the 1945 Constitution where everyone is treated equally before the law without any distinction. As stated in the 5th Pancasila precept which reads "Justice for all Indonesian people". But in reality the implementation of law enforcement in Indonesia is not going well. The law that should act decisively is now the opposite. In Indonesia, the law is used as a tool to act arbitrarily. An official, high-ranking official who has a lot of money will easily avoid legal disturbances even though the person has violated the law. And conversely for people who can not even get a severe punishment. This study aims to analyze the implementation of legal justice in the perspective of Pancasila in Indonesia as a basic framework in the state. This study uses a normative approach and literature study in which the author examines and compares various previous studies related to the topic of justice in the Pancasila perspective, as well as various related theories. This study finds and emphasizes that legal injustice in Indonesia is caused by the old paradigm of law enforcement officials, who still prioritize aspects of legal certainty and have not used aspects of justice and legal benefits. The legal apparatus associated with the court pays more attention to legal procedures, which they should prioritize existing legal justice. Hisam AhyaniAis SurasaSanti SuryaniHukum dan moral adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Disatu sisi hukum yang ideal, maka hukum berfungsi sebagai moral, dan moral berfungsi sebagai hukum. Namun ketika melihat kasus-kasus hukum yang terjadi hari ini, menunjukan bahwa kasus tersebut bertentangan juga menurut moral, semisal korupsi, ketidakpatuhan hukum, pembunuhan dan lain sebagainya, dimana hal ini disebabkan oleh tidak terintegrasinya kesadaran moral antara individu satu dan invidu lainnya. Sehingga ketika hal ini terus dilanggengkan maka penegakan hukum bergaya moral itu akan sulit ditegakan. Tulisan ini bertujuan untuk 1 menguak serta menggali tentang pentingnya membangun integritas moral bagi masyarakat penegak hukum yang akan menegakan hukum di Indonesia; 2 menguak serta menggali tentang penegakan hukum yang baik ideal menurut gaya moral di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 dalam rangka membangun integritas moral bagi masyarakat penegak hukum yang akan menegakan hukum di Indonesia, maka perlu membangun dan menciptakan kesadaran hukum bagi masyarakat penegak hukum, dimana ini akan berimplikasi pada dinamika sosial; 2 penegakan hukum yang baik ideal menurut gaya moral di Indonesia dapat tumbuh dengan sendirinya, yakni dengan mengikuti tatanan sosial yang hidup dan berkembang selaras dengan zaman yang sedang dilaluinya, artinya penegakan hukum dilakukan dengan melihat perkembangan dinamika dalam masyarakat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan historis, komparatif dan konseptual guna menguak serta menggali tentang idealitas penegakan hukum yang baik ideal menurut gaya moral di Roziq SaifullohThe Notary’s right of refusal through the approval of the Notary Honorary Council NHC hinders the practice of criminal law enforcement because it is absolute and there is no further final legal remedy, even though a similar policy beleid has been revoked by the Constitutional Court. In practice, the notary cannot be examined by investigators, public prosecutors, or judges, unless they have previously obtained NHC approval, as regulated in Article 66 paragraph 1 of Law Number 30 of 2004 as amended by Law Number 2 of 2014 Notary Position Law. Even if Notary Honorary Council refuses, then there will only be further legal remedies through a lawsuit by the State Administrative Court. In fact, the provisions regarding the Notary’s right of refusal should be determination’ by court decisions vonnis as regulated in Article 170 of the Criminal Code, and not administrative determination’ beschikking through NHC approval based on the delegation of supervisory authority from state institutions. This paper concludes that every law enforcer in criminal cases police, prosecutors, and judges can examine a Notary with the condition of special permission from the Head of the local District Court, approval of direct interested parties, or NHC approval as stipulated in Article 43 of the Criminal Code in conjunction with Article 66 paragraph 1 of the Notary Position Law. This paper is normative research with a statutory approach, conceptual approach, and case Khairudin Rahmawati RahmawatiJaka WinarnaEvi GantyowatiThis study aims to assess the quality of post-reformation good governance implementation in 34 Indonesian provincial governments using the Principal Component Analysis PCA method. Specifically, the method determines the governance index sourced from the KNKG covering democracy, transparency, accountability, legal culture, and fairness and equality principles. The findings show that 1 there are 26 or provincial governments with “good” good governance quality and 8 or provincial governments with “adequate” good governance quality; 2 Indonesian provincial governments tend to exhibit fluctuating but downward performance although still in the “good” category; 3 Bali Province is the best province in implementing good governance, while North Maluku Province is the worst province in implementing good governance in Indonesia; 4 the Kalimantan region is the region with better governance implementation quality in Indonesia, while the Maluku region exhibits the poorest performance. Our empirical findings underscore the importance of stakeholders’ commitments and synergy in improving good governance remedium is one of the principles contained in Indonesian criminal law which says that criminal law should be made a final effort in the case of law enforcement. However, law enforcement through the criminal justice system is currently still dominated by the positivism mindset, a way of criminal law enforcement which is only based on laws and regulations. In many cases, Criminal Law is used as the only way of order. The purpose of this research is to describe the concept of Ultimum remedium in criminal law, criminal law enforcement practices in Indonesia, and criminal law enforcement concepts in the progressive law paradigm. This research used a philosophical approach discussing law enforcement idealism in the future. The data used were the qualitatively analyzed secondary data. The research results showed that the Ultimum remedium principle has not been completely implemented in law enforcement. Consequently, the burden for crime settlements got bigger and made the law enforcers busier. The Ultimum remedium principle is supported by various considering bases or grounds from the constitutional law aspect, political science, criminal law, and humanism consideration or human rights. Law enforcement in Indonesia was viewed as stagnant and discriminative law enforcement. It was illustrated as a spider web that can only trap the weak but will be easily torn by the rich and strong. Factors inhibiting law enforcement in Indonesia include weak political will and political action of the state leaders to make law as the commander. The regulations and laws reflect the political interests of authorities more than those of the society. Thus, criminal law enforcement is greatly necessary for the progressive law paradigm. Progressivity is greatly required in law enforcement. Progressive law departs from the humanistic perspective. Thinking progressively means having the courage to get out from the law absolutism thinking mainstream and positioning law in the relative position located in the entire humanistic Putrap>Abstract This research focuses on law enforcement against acts of hazing that are based on bullying in the college environment in the New Student Life Introduction PKKMB activity with the victim being a student from the Faculty of Engineering, Bengkulu University with bullying. Bullying is an act of violence committed by someone who has power by oppressing the victim both physically and verbally. The victim was subjected to verbal abuse by being forced to cross her own face with lipstick by forcing a high tone and was ordered to stand for 2 hours during the Introduction to Humanity at the Faculty of Engineering Campus. In this study, using the doctrinal method normative by analyzing cases studied with related regulations and legal theory according to the research. Actions carried out by perpetrators of perpleoncoan with the accusation of bullying include criminal acts by means of coercion in accordance with the Criminal Code. Based on the perspective of legal sociology that law is seen based on reality on the ground empiric, in this study usingtheory lawas a tool of social engineering. who viewed “the law as a tool to tool of engineering”. In this case, it is seen that in theory the law used is that the law is made based on the reality on the ground to be a correction to the existing legal umbrella. However, this case is a fairly common problem in hazing, but bullying done by seniors to new students of Bengkulu University from the Faculty of Engineering is a hazing which should not be done on the basis of humanist principles. Laws should be dynamic in nature and change according to people’s lives, but such actions must be changed if they harm others on the basis even though they are based on habits Abstrak Penelitian ini berfokus pada penegakan hukum terhadap tindakan perpeloncoan yang yang dilandasi pada tindakan bullying di lingkungan perguruan tinggi dalam kegiatan Pengenalan Kehidupan Mahasiswa Baru PKKMB dengan korban seorang mahasiswi dari Fakultas Teknin Universitas Bengkulu dengan tindakan bullying. Bullying adalah suatau tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sesorang yang memiliki kekuasaan dengan cara menindas korban baik secara fisik maupun verbal. Korban mendapatkan perlakuan kekerasan secara verbal dengan dipaksa mencoret wajahnya sendiri dengan lipstick dengan memaksa nada tinggi serta diperintah untuk berdiri selama 2 jam pada kegiatan Pengenalan Kehipuan Kampus Fakultas Teknik. Pada penelitian ini menggunakan metode doktrinal normatif dengan menganalisis kasus dikaji dengan peraturan terkait dan teori hukum yang sesuai penelitian. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku perpleoncoan dengan diseratai bullying termasuk karenah pidana dengan adanya pemaksaan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berdasarkan perspektif sosiologi hukum bahwa hukum dilihat berdasarkan kenyataan di lapangan empirik, dalam penelitian ini menggunakan teori law as a tool of social engineering yang dipandang bahwa hukum sebagai alat untuk mengontrol masyarakat. Dalam kasus ini dipandang secara teori yang digunakan hukum adalah hukum sebekumnya dibuat berdasarkan kenyataan di lapangan untuk menjadi koreksi terhadap payung hukum yang ada. Namun kasus ini menjadi permasalahan yang cukup lumrah dalam perpeloncoan, namun bullying yang dilakukan oleh senior tehdap mahasiswa baru Universitas Bengkulu dari Fakultas Teknik merupakan suatu perpeloncoan yang seharusnya tidak dilakukan dengan dasar asas humanis. Hukum seharusnya bersifat dinamis berubah sesuai kehidupan masyarakat, namun tindakan seperti itu harus diubah apabila merugikan orang lain atas dasar walau berdasarkan kebiasaan.

ketaatan kita terhadap hukum semestinya